Dari dulu sampai sekarang, kebanyakan orang tua keluarga kelas menengah ke bawah pasti menimbang-nimbang untuk memasukkan anaknya ke jenjang kuliah atau tidak. Lebih baik langsung kerja saja, toh lulusan kuliah pun sekarang masih banyak yang pengangguran, kan? Di tahun 2015 ini, pengangguran sudah mencapai angka kurang lebih sekitar 7,3 juta penduduk, dan diperkirakan akan bertambah lagi seiring berjalannya waktu. Hal yang ironis adalah persentase pengangguran lulusan sarjana di angka tersebut cukup besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, yaitu...
 “Lulusan sarjana, bisa apa sih?”

Lulusan kampus adalah orang yang hanya sedikit lebih baik dalam hal analisis, berpikir kritis, membaca dan menulis, tetapi sangat maju dalam hal ego dan narsistis (Ghoz, 2015). Kita, tentunya sebagai mahasiswa bisa membuktikannya dengan mendatangi teman seangkatan kita ataupun kakak tingkat yang akan segera lulus. Coba tanya apa yang akan mereka lakukan ketika sudah lulus. Kebanyakan akan menjawab “Gak tau” atau “Liat nanti aja.."
Sedikit sekali ada mahasiswa yang menjawab “Aku mau mengubah Indonesia jadi blablabla”, “Aku mau bikin bisnis yang begini”, atau “Aku mau kerja di tempat ini dan melakukan ini”. Jarang, hanya sedikit orang yang akan menjawab seperti itu, coba saja.
Hal ini adalah imbas dari kurangnya penanaman terhadap practical skills yang harus kita lakukan saat di dunia luar nanti. Kebanyakan mahasiswa di Indonesia hanya mengulangi kebiasaannya saat di SD, SMP, dan SMA.

“Mengejar nilai setinggi-tingginya supaya mudah dapat kerja”

Saya sebenarnya setuju, nilai tinggi adalah sebuah pencapaian yang baik. Namun, apa artinya nilai tinggi jika kita hanya mengejar “angka”, bukan “ilmu”? Ditambah lagi dengan munculnya pernyataan populer di kalangan mahasiswa.

“Datang. Kerjakan. Lupakan”

Seakan-akan kita belajar hanya untuk mendapat angka, tanpa dibekali esensi belajar. Menurut King (2014), belajar adalah proses perubahan perilaku secara sistematis yang sifatnya relatif permanen dan diperoleh melalui pengalaman. Artinya, jika perilaku kita tidak berubah secara relatif-permanen, dan hanya mengerjakan ujian lalu melupakan materinya, maka itu bukan belajar, itu menghafal. Akhirnya saya pun berpandangan bahwa sebetulnya angka itu tidak berarti apa-apa tanpa esensi belajar dan kontribusi bagi dunia.

Kita sekarang sedang ada dalam sistem di mana kita tidak dilatih dan dibekali dengan kemampuan untuk berkontribusi. Kita tidak dibekali skills untuk itu oleh universitas kita. Sehingga yang menentukan nasib kita semua hanyalah diri kita sendiri. Apabila mahasiswa belum sadar, masih terjebak dalam mindset mengejar nilai, hancurlah negara kita. Maka, marilah kawan! Setidaknya untuk berlatih berkontribusi di waktu krusial kuliah ini, jangan kuliah tanpa esensi!