Hidup di Indonesia, terutama di daerah perkotaan merupakan hidup di mana kita harus “bertahan atau mati”. Orang yang tak kuat beradaptasi dengan lingkungan, individualisme, dan hiruk pikuk perkotaan yang egois akan tertindas. Lihat saja sekarang, orang yang kaya bertambah kaya, sedangkan orang yang miskin bertambah miskin. Kebanyakan orang tidak lagi peduli akan kepentingan bangsa, hanya peduli akan kepentingan pribadi mereka. Intinya, kita sedang hidup dalam kota yang sakit yang berada di dalam negara yang haus akan perubahan.



Ciri-ciri kota yang sakit ada tiga, pemerintahnya koruptif, pebisnisnya oportunis, dan kaum intelektualnya apatis (Kamil, 2013), dan saya merasa kita sedang berada dalam kondisi tersebut. Kondisi di mana hanya sedikit orang yang melakukan budaya gotong royong, sebab orang-orang sudah tidak peduli lagi akan kebersamaan dan persatuan Indonesia. Kondisi ini adalah di mana orang-orang melakukan kompetisi demi keuntungan pribadi sembari merugikan kawan sebangsanya sendiri. Hal ini dapat tercermin dari kebanyakan perilaku wakil rakyat, kaum pebisnis, dan kaum intelektual di Indonesia.

Menurut saya masalah ini sudah kompleks dan mungkin sulit untuk mengubah masyarakat agar kembali melestarikan budaya gotong royong ini. Namun saya rasa kita masih punya cara, dan cara tersebut harus dilakukan serempak oleh kaum-kaum intelektualnya, berawal dari diri saya sendiri. Lalu apa saja cara yang saya maksud tersebut?

Observasi, berpikir kritis, membaca, lalu menuliskannya dalam sebuah essay persuasif di media sosial. Itulah cara saya untuk menjaga budaya gotong royong di Indonesia yang makin kompetitif dan individualis ini. Mengapa? Sebab cara tersebut tidak sulit dan tidak mahal, namun efektif dan dapat terjaring oleh masyarakat luas, karena menggunakan media sosial.
Pertama adalah saya melakukan banyak observasi mengenai perilaku orang-orang di lingkungan sekitar saya. Observasi ini tidak perlu susah-susah saya lakukan, cukup dengan sikap mindfulness (sadar) dalam kehidupan sehari-hari yang saya jalani. Dengan kondisi di mana saya sadar akan keadaan sekitar, maka saya dapat mengetahui perilaku mana yang harus diubah dan yang harus diteruskan oleh masyarakat di lingkungan saya.

Setelah itu saya mencoba berpikir kritis terkait dengan kondisi yang telah saya observasi, saya harus menjawab pertanyaan tentang 

“Bagaimana kita dapat mengubah kondisi Indonesia yang saat ini makin kompetitif yang makin ke sini kita makin melupakan budaya gotong royong?”. 

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya harus melakukan kajian literatur yang masif, singkatnya adalah dengan banyak membaca. Hal yang saya lakukan adalah membaca banyak buku, artikel, jurnal, dll. supaya pikiran  saya dapat terbuka dengan berbagai solusi untuk memecahkan masalah budaya gotong royong di Indonesia tersebut.

Lalu yang terakhir adalah saya menuliskannya dalam bentuk essay di media sosial. Menurut saya cara ini adalah cara yang paling efektif, sebab media sosial adalah media yang paling sering dilihat oleh remaja dan mahasiswa yang notabene adalah penduduk yang paling banyak di Indonesia.  

Itulah hal yang sudah saya lakukan dalam membuat perubahan di Indonesia, bukan hanya dalam masalah gotong royong saja, namun juga banyak hal. Sampai sekarang, saya banyak menulis di berbagai media sosial. Dengan cara membuat tulisan, saya mendapat banyak feedback positif, baik dari teman, guru, maupun orang di luar sana yang belum saya kenal.


Oleh karena itu, saya berharap agar saya dapat membuat lebih banyak perubahan untuk Indonesia dan menginspirasi lebih banyak orang lagi, supaya mereka, yaitu masyarakat Indonesia di luar sana dapat kembali melestarikan budaya gotong royong. Meskipun kondisi Indonesia sekarang sedang sakit, tapi saya percaya, kita masih punya harapan. Seperti kata orang bijak, 

“Selama sang fajar masih menjelang di ufuk timur, di sanalah selalu tersimpan harapan.” (Museum TMII, 2015). 

Maka, marilah menulis untuk perubahan, yaitu perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.