Pernahkah anda diberitahu secara mendadak oleh dosen tentang jadwal kuliah yang diundur atau diganti secara sepihak? Saya pernah, bahkan sudah beberapa kali. Jika anda juga pernah, maka saya sarankan untuk membaca tulisan ini sampai habis. Dalam esai singkat ini, saya akan membahas perihal jadwal kuliah pengganti dan hak atas kota.

Singkat cerita, kemarin (beneran kemarin), saya dikagetkan oleh kabar dari teman saya di salah satu mata kuliah yang saya ikuti. Ya, saya mendapat kabar bahwa kelas saya diundur. Asalnya, jadwal kuliah saya adalah jam 14.00, namun karena satu dan lain hal, satu hari sebelumnya dosen mengabari bahwa kelas diundur menjadi jam 16.00. Sayangnya, setelah kabar itu, saat hari ‘H’ tiba-tiba dosen yang mengajar mengatakan lagi bahwa kelas diundur menjadi jam 16.35, padahal sebetulnya mata kuliah ini, jika melihat jadwal, seharusnya diselesaikan pada jam 16.30.

Ya, begitulah fenomena yang terjadi kemarin. Mungkin anda saat membaca tulisan ini bertanya: “Terus apa sih hubungannya jadwal kuliah pengganti dengan hak atas kota?”.

“The right to the city is not merely a right of access to what already exists, but a right to change it after our heart’s desire” - Harvey, 2008
Menurut Harvey (2008), hak atas kota bukan hanya hak untuk mengakses sumber daya yang sudah ada, melainkan juga hak untuk mengubah dan mentransformasikan hal-hal yang ada di kota sesuai dengan kebutuhan kita. Ya, dan hak ini adalah hak kolektif seluruh warga kota. Lalu kaitannya dengan kelas di perkuliahan? Nah, jika kelas kita dan perkuliahan diibaratkan sebagai sebuah ‘kota’, maka kita tentu berhak untuk mengubah dan mentransformasikan hal-hal yang ada di kelas dan perkuliahan.

Jika kita kaitkan dengan kasus awal, yakni jadwal kuliah pengganti. Dosen sudah seharusnya memberikan mahasiswa jadwal yang fix dan tidak menganggu mahasiswa. Memang hak kita mendapatkan hal-hal itu, karena kebutuhan mahasiswa adalah untuk belajar dan hak kita untuk mendapat pengajaran. Akan tetapi, selain hak tersebut, dosen juga seharusnya memberikan “hak atas kota” pada mahasiswa. Hak atas kota dalam konteks perkuliahan ini, sesuai dengan definisi yang ditulis di atas, yang berarti hak terhadap perkuliahan sebagai sesuatu yang nyata, untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kuliah tersebut sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.

Artinya, mahasiswa di sini bukan saja punya hak untuk diberikan pengajaran, jadwal yang fix, sekaligus info dari dosen jika beliau tidak hadir. Mengacu pada definisi hak atas kota di paragraf kedua, maka hak atas kota bukan hanya hak untuk mengakses hal yang sudah ada (re: jadwal fix, diberikan pengajaran, dsb.), namun mahasiswa juga memiliki hak untuk mentransformasikan dan memperbaharui semua hal yang terjadi perkuliahan tersebut. Intinya, mahasiswa yang berkuliah bukan hanya pelaku pasif dari perubahan yang terjadi dalam perkuliahan, namun juga aktif terlibat dalam proses perubahan yang terjadi (LBH Jakarta, 2017). Dengan demikian, titik tolak dari hak atas kota dalam konteks ini adalah partisipasi mahasiswa terhadap perubahan yang terjadi di perkuliahan. Masalahnya, sekarang sudah sejauh mana sih kita berpartisipasi terhadap perubahan yang kita rasakan di kelas?

Oleh karena itu, ketika perubahan jadwal dan jadwal pengganti dari dosen hanyalah berdasarkan keputusan sepihak, maka dosen yang bersangkutan dalam konteks ini telah melanggar “hak atas kota” kita sebagai mahasiswa. Mengapa? Karena mahasiswa di sini hanya menjadi objek yang pasif dari perubahan, bahkan kita tidak diberi kesempatan untuk mentransformasi dan memperbaharui perubahan yang terjadi di kelas, yakni jadwal kelas pengganti itu sendiri.

Pada dasarnya, memang hak kita untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak atas kota ini. Hak kita juga, untuk berpartisipasi atau tidak berpartisipasi. Namun, ketika kebijakan jadwal kuliah pengganti sepihak ini sudah menimbulkan kerugian, tentu merupakan hak kita juga untuk dapat mengkritik, mengevaluasi, dan mengubah kebijakan tersebut.

Mungkin saat ini anda sedang berpikiran bahwa masalah ini adalah masalah sepele. Beberapa dari anda mungkin akan bertanya: “Ngapain sih diribetin? Toh hanya perihal absen, kan? Secara rasional, dosen pun tentu menentukan jadwal pengganti saat kita sedang tidak bentrok dengan kelas lain, kan?” Betul sih, masalah ini sepele, namun hak atas kota ini perlu kita sadari dari masalah yang sepele, supaya kita bisa mengerti tentang substansi hak atas kota ini di masalah yang besar dan memengaruhi hajat orang banyak.

Coba bayangkan jika hak atas kota yang dilanggar adalah terkait hal yang substansial bagi kehidupan, seperti sandang, pangan, atau papan. Contoh paling sederhananya adalah seperti  penggusuran rumah secara sepihak, pembangunan yang merugikan rakyat kecil, dan banyak lagi. Tentu masalah-masalah seperti ini perlu kita perhatikan.

Dalam konteks lain, bila dikaitkan dengan kehidupan mahasiswa, coba kita lihat kebijakan dari pihak fakultas. Beberapa waktu lalu, di fakultas saya, pihak dekanat sempat memberikan kebijakan mendadak terkait renovasi kantin. Padahal, mahasiswa sering menggunakan kantin tersebut untuk melakukan aktivitasnya. Kalau kita menilik hak kita atas kota, maka seharusnya kebijakan itu tidak dilakukan secara sepihak. Ketika kebijakan dilakukan secara sepihak, maka perlu ditanyakan pada diri kita sendiri, sebetulnya di mana sih ‘hak atas kota’ kita? Apakah kita diberikan hak untuk itu oleh fakultas?

Nah, hak itu harus kita sadari juga sebagai mahasiswa. Setelah ditelisik, jangan-jangan ternyata sekarang kita sudah diberikan hak-hak tersebut oleh pihak dekanat, namun tidak kita gunakan. Sebagai contoh, sekarang fakultas saya memberikan hak untuk mengubah dan mentransformasikan kondisi kota kita (baca: Fakultas) dalam bentuk survei fasilitas serta kepuasan terhadap karyawan lewat SIAK (web sistem akademik), atau penyampaian aspirasi lewat Dept. Adkesma (Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa) BEM.

Jika ingin dilihat dari aspek lain lagi, kita bisa lihat sistem kegiatan kemahasiswaan. Setiap lembaga mahasiswa pasti punya program kerja, pertanyaannya, apakah kita diberikan hak untuk mengkritik, mengevaluasi, dan mengubah program kerja yang dijalankan oleh lembaga kemahasiswaan (re: BEM, DPM, dsb.)? Apakah kita ikut andil dalam penyikapan yang dilakukan lembaga tersebut? Jika belum, maka sebetulnya kita sebagai civitas, secara khusus sebagai mahasiswa berhak untuk mentransformasikan dan mengubah hal yang ada dalam lembaga tersebut. Hal ini dikarenakan lembaga mahasiswa merupakan bagian substansial dari ‘kota’ kita.

Hak atas kota ini pun seharusnya bukan saja disadari oleh stakeholder/pemegang jabatan seperti dosen, Ketua BEM, Ketua DPM, Kepala Departemen, pihak Dekanat, dsb., namun juga harus disadari oleh seluruh mahasiswa itu sendiri sebagai subjek dari perubahan yang terjadi. Saya beberapa kali melihat ketidaksadaran ini pada mahasiswa. Ketika ada mahasiswa yang mengkritik kebijakan yang dibuat oleh fakultas atau mengkritik proker yang diajukan oleh lembaga mahasiswa, tidak jarang kita mendengar perkataan bahwa: “Ah, itu mah bukan urusan lo, bukan urusan kita, kita kan cuman civitas biasa, itu mah urusan X!”, “Ah, nanti itu mah Y yang ngatur, kan mereka yang tanggung jawab, lo gak usah ikut campur lah!”, “Lah, lo jangan ngekritik dan terlalu berperan dalam proker X!”, atau “Kritik lo gak ngaruh coy, orang yang berkuasa kan X, Y, Z”.

Mindset ini menurut saya perlu diubah, sebab hak atas kota tentu adalah hak kita semua. Tidak peduli apa jabatan, peran maupun andil kita. Ketika kita adalah warga ‘kota’, maka kita berhak untuk mengkritik, mengevaluasi, dan mengubah, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap semua hal yang terjadi di ‘kota’ kita. Ini pun berlaku dalam setting perkuliahan.

Ya, mungkin ini adalah hal simpel. Namun, mindset ini perlu kita tanamkan pada diri kita. Mindset bahwa kita memiliki hak atas kota dalam seluruh setting apapun yang kita jalani. Selalu ingat saja bahwa kota, dan segala hal yang ada di dalamnya, tentu akan dapat mengubah diri kita. Jika dilihat dari konteks perkuliahan, tentu cara mengajar dosen, jadwal kuliah, dan tugas-tugas dapat mengubah perilaku kita sebagai manusia. Begitu pun dalam konteks kegiatan kemahasiswaan, sudah jelas bahwa proker seperti Ospek, Acara, dan banyak lagi, meskipun ada dari proker tersebut yang tidak terafiliasi dengan kita secara langsung, tetap saja proker tersebut dapat mengubah diri kita. Jika begitu, maka dapat disimpulkan bahwa kita sebagai warga kota terpengaruh oleh semua hal-hal yang ada dan terjadi di kota kita.

Oleh karena itu, dalam hal ini kita, sebagai manusia tentu berhak untuk mengubah diri kita, dengan cara mengubah kota kita (Harvey, 2008). Ya, ini adalah hak paling mendasar dan paling sederhana, yaitu hak untuk mengubah diri kita sendiri. Sayangnya, hak ini seringkali diabaikan oleh para stakeholder/pemegang jabatan, atau bahkan secara tidak disadari, oleh diri kita sendiri.

Daftar pustaka


Harvey, D. (2008). The right to the city. The City Reader6, 23-40.

LBH Jakarta. (2017). #JakartaKritis: Demokrasi yang jernih dan haka tas kota. Diakses pada tanggal 21 April 2017 dari http://www.bantuanhukum.or.id/web/jakartakritis-demokrasi-yang-jernih-dan-hak-atas-kota/