Ide dari cerita ini terinspirasi dan banyak copas dari tulisan Edward Suhadi

Saya masih ingat, terakhir kali saya menulis reflektif tentang kebahagiaan adalah saat tahun 2015. Waktu itu saya baru saja terpilih sebagai Ketua Angkatan Psikologi UI 2015 sekaligus sedang tertarik dengan Positive Psychology, dan hal yang saya coba lakukan adalah menganalisis kebahagiaan teman angkatan saya.
Tidak terasa, sudah tiga tahun berlalu sejak saat itu. Dan entah kenapa, saya rasa setelah tiga tahun lamanya, malam ini merupakan saatnya bagi saya untuk berefleksi lagi tentang kebahagiaan. Namun kali ini, bukan tentang kebahagiaan orang lain, tapi tentang diri saya sendiri.

Di malam yang sunyi, apalagi kalau ditemani kopi dan rokok, biasanya saya selalu memikirkan tentang hal-hal yang sudah saya lakukan di tahun ini. Salah satu yang sangat memorable adalah ketika saya liburan bersama dua teman baik saya ke Bali.






Jalan-jalan di kota yang ‘toleran’ dan indah dengan tempat wisata yang katanya ‘infinite’ dengan pemandangan saat itu membuat saya terkesima. Bagaimana tidak, satu-satunya hal yang saya pikirkan saat di Bali adalah bagaimana saya bisa tinggal di sana selamanya.


Pasti enak tinggal di tempat seperti itu. Makan enak, naik motor ke pelabuhan, lihat sunset tiap hari, ngobrol sama turis bule dan banyak lagi hal keren yang gak bisa saya sebutkan satu-satu. Ya, rasanya pasti seperti di surga.

Tapi walaupun kepala saya berpikir seperti itu saat di sana, saat di jalan pulang, saya selalu sadar bahwa pemikiran itu akan dijawab oleh kepala saya dengan: 

“Kayaknya mending nggak deh”. 

Ya, kayanya... nggak, deh.

Saya yakin, pasti banyak dari anda, para pembaca yang budiman bertanya:

“Lha lu emang nggak mau tinggal di Bali!?”


Oke, saya coba jelaskan. Jadi begini. Saya yakin pasti banyak banget orang yang punya mimpi supaya sampai di sebuah tempat yang ya udah, seumur hidupnya bisa cuma hidup enak terus-terusan. 

Anda juga mungkin begitu, ya kan? Sudahlah ngaku saja, pasti anda berpikir enak kan kalau hidup seperti itu? Tidak perlu kerja, tidak punya kewajiban, dan tidak ada stress.

Tapi kalau menurut saya, hal yang bikin hidup kita bahagia itu sebetulnya bukan keadaan ketika kita sedang ‘penuh’ saja. Bukan. Tapi justru kegiatan ‘mengisi’ dan ‘menghabiskan’-lah yang membuat kita bahagia.

Skenarionya gini, anggaplah dengan sebuah keajaiban yang entah dari mana, saya dan pacar saya berikut dengan teman-teman saya tiba-tiba pindah ke Bali. BOOM. Ya. Begitu saja. Pindah ke Bali. Kota yang menurut saya rasanya seperti surga. 

Dan bukan cuma pindah, tapi saya juga dapat sebuah rumah yang keren menghadap ke pantai sekaligus dengan uang sebesar 1 juta dollar yang siap untuk dipakai.

Apa hal pertama yang akan saya lakukan? Mungkin saya akan langsung membeli kamera mirrorless yang selalu saya impikan dan memfoto (sekaligus bikin video ala Sam Kolder) pemandangan dari rumah baru saya dari berbagai sudut. 

Hingga akhirnya mungkin saya kecapekan dan duduk di sofa rumah saya yang keren banget karena menghadap langsung ke pantai.

Sambil duduk, saya pasti akan sampai ke pertanyaan ini:

 “Terus?”

Oke, mungkin setelah ini saya akan lari sore. Ya, saya selalu suka lari pagi/sore di pantai. Sambil foto-foto sunset dan pemandangan sekitar yang pastinya keren banget. Sampai mungkin akhirnya saya akan kembali pulang.

Ya, kembali ke sofa saya lagi dan kembali ke pertanyaan yang sama: 

“Terus?”

Oh iya! Makan, karena pasti banyak banget makanan enak di sini. Mungkin saya akan makan sebanyak-banyaknya, karena saya tidak perlu pusing bagaimana harus membayarnya (ingat uang 1 juta dollar tadi).

Oh iya, jangan lupa lagi pertanyaan ini: 

“Terus ngapain lagi?”


Tidur? Yup, istirahat lah Van. Besok juga gak usah bangun pagi. Bangun siang aja karena memang tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan. Tidur-tidur-tidur. Main HP. Makan. Tidur-tidur-tidur. 

“Terus?” 

Err. Gak.... tau (?).

Ya, kita seringkali mimpi. Mau punya hidup yang begini lah, atau yang begitu lah. Intinya, hidup yang serba ‘penuh’. 

Tanpa membayangkan bagaimana sebetulnya kalau hidup kita sudah seperti itu. Kita gak pernah membayangkan bagaimana hari-hari yang kita jalani setelah ‘mimpi indah’ kita tercapai.

Memangnya bisa ya, hidup bahagia hanya dengan hidup enak? Saya pikir... tidak.

Dalam teori Psikologi, kalian yang anak Psikologi pasti sudah tahu tentang konsep desensitization.  

Contohnya gini, mau sesuka apapun anda terhadap cheesecake paling enak di dunia. Rasa kue pertama mungkin akan terasa seperti surga. Kue kedua? Ya mungkin masih seperti surga. Tapi ketika anda sampai di kue ke-10, mungkin anda ingin muntah karena merasa bahwa kuenya udah kebanyakan

Ya, sama halnya dengan hidup. Kita gak bisa bahagia kalau hidup cuma hanya ada ‘enak’-nya saja. 

"Lah, jadi lo gak seneng Van kalau punya rumah keren? Ke pantai? Banyak duit? Makan enak? Punya kamera bagus? Gak usah bangun pagi buat kuliah atau kerja?"


Ya seneng lah! Lu pikir aja, gua juga manusia, bro.

Tapi saya juga senang, atau dengan kata lain ‘bahagia’ juga dengan hal-hal lain yang sedang saya jalani sekarang, contohnya seperti:

Ketika saya rapat BEM sampai malam (meskipun besoknya ada deadline tugas kuliah yang sangat banyak), untuk mewujudkan visi BEM yang saya pengen.

Ketika harus datang pagi (jam 6.30) untuk sambutan opening acara BEM di Jakarta. Yang ternyata teknis acaranya cacat, terus sedih dan malu... Tapi hepi lagi besoknya karena pas closing acaranya melebihi ekspektasi.

Ketika harus merasakan sport jantung karena dipaksa orasi di depan ribuan mahasiswa baru UI.

Ketika diskusi tentang isu sosial politik terkini, gosip di Fakultas, dan ikut demo sekaligus bikin gerakan kontroversial atau gerakan lucu (seperti bagi-bagi tempe).

Ketika capek dan memutuskan buat bucin dan pacaran. Eh malah berantem sama doi, abis berantem hepi lagi karena maaf-maafan dan jadi bucin (lagi).

Ketika mentoring dan ngajarin mata kuliah Sejarah dan Aliran Psikologi yang katanya susah itu. Dan ngeliat anak-anak mentee berkembang sampe akhirnya ngasih hadiah apresiasi yang tetep saya pake sampe sekarang (kalo lo ada yang baca ini thanks lho kemejanya, mentee-mentee kesayanganku! hehe :) )

Ketika bisa ngebantu orang-orang Bandung buat lancar berkuliah di UI, lewat paguyuban

Ketika dimarahin dosen yang sensitif di satu matkul, tapi di matkul lain diapresiasi oleh dosen lain, bahkan diajak bikin riset bareng.

Dan... banyak lagi.
---

Jika tujuan hidup kita adalah ‘kepenuhan’ dari semua resource yang ada. Mulai dari uang, waktu, kelancaran di semua bidang. Dalam waktu yang sangat singkat, saya yakin hidup kita akan berubah menjadi membosankan. Boro-boro membahagiakan.

Tapi, jika hidup isinya hanya hal yang menghabiskan baterai: kerja, stress, dan marah-marah terus. Ya jelas pasti bakal sedih. Capek. Susah buat bahagia kalau kalau kita gak #BeKindToYourMind.

Makannya, saya selalu yakin bahwa kunci dari hidup bahagia adalah hidup yang penuh dengan charging dan spending. Gak bisa 'penuh' terus. Gak bisa juga 'kosong' atau 'habis' terus.


Kalau baterai kamu habis? Ya isilah dengan hal-hal yang menyenangkan. Pergi ke Bali bisa jadi salah satunya. 

Atau mungkin sesimpel jalan-jalan pagi di CFD tengah kota (?). Atau sekedar memberi makanan yang kamu punya ke temanmu yang kelaparan, hahahah. 

Entahlah, pasti ada kan hal yang kamu senang melakukannya? Lakukan saja hal itu.

Tapi ketika baterai kamu sudah penuh kembali. Pastikan bahwa kamu menghabiskan baterai itu untuk hal yang menantang. Ya, hal yang bermanfaat yang membuat darahmu berdesir ketika bekerja. 

Hal yang membuat kamu tidak tidur untuk memikirkan apa strategi selanjutnya. Hal yang kamu perjuangkan pertumbuhannya, layaknya pohon di ladang yang akan berbuah gemuk dan manis, dan nantinya akan dinikmati banyak orang.

“Jangan cuma bermimpi dan berdoa buat hidup yang selalu ‘penuh’. Berdoalah untuk hidup yang penuh dengan kesempatan untuk ‘menghabiskan’ diri kamu.” – Edward Suhadi

Kalau dibilang bahagia dan suka dengan kesibukan hidup saya sekarang. Ya, saya suka semua itu. Sesuka, sesenang dan sebahagia itu, yang bahkan kalau saya diberikan kesempatan hidup oleh Tuhan selama 1000 tahun lagi, saya mungkin bisa mengatakan bahwa saya rela mengisi ratusan tahun di dalamnya dengan kesibukan yang saya jalani sekarang.

Makannya, kalau kamu merasa gak nyaman dengan hidupmu, entah itu gak bahagia atau marah-marah mulu. Setidaknya ada dua alasan dibalik hal tersebut. Entah kamu lupa ngecharge baterai kamu, atau kamu yang lupa menghabiskan baterai yang sudah penuh tersebut.

Inget aja bahwa orang sekaliber Elon Musk pun bisa merasakan gejala depresi gara-gara kebanyakan kerja (cek artikelnya di google). Dan orang kaya sekalipun bisa depresi dan bunuh diri kalau sudah bosan hidup (meskipun kaya!).

Alhamdulillah, dengan pekerjaan dan kesibukan saya yang sekarang. Saya bisa mengatakan bahwa saya bahagia. Semoga seribu tahun lagi tetap seperti ini. Terima kasih Tuhan.

Sekarang, pertanyaannya saya tanyakan untuk kamu: 

Apakah kamu bahagia?

Ditulis setelah ngerjain tugas mata kuliah yang katanya tersulit di Fakultas Psikologi UI, yaitu KAUP (Baca: Kutukan Allah untuk Psikologi, hehe nggak deng, yang bener Konstruksi Alat Ukur Psikologi) 

Dini hari, Selasa, 25 September 2018, Kota Depok

Ifandi Khainur Rahim

Saat ini masih menjabat sebagai:
Ketua BEM Fakultas Psikologi UI 2018
Wakil Ketua Paguyuban Urban UI 2018

Semoga akhir tahun nanti dapat ditutup dengan manis. Aamiin.